Dugaan Korupsi Proyek Website Desa di Kabupaten Serang Dilaporkan ke Polda Banten

banner 728x90

Gemasiber80news.com,SERANG – Mencuatnya kejanggalan pengadaan Website Pemerintah Desa salah satunya praktik monopoli, membuat masyarakat marah dan mendorong agar penegak hukum turun melakukan penyidikan kepada pihak-pihak terkait.

PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB) selaku vendor pengadaan website desa kini dilaporkan ke Polda Banten pada Jum’at (21/2/2025), dengan Nomor Laporan Pengaduan 05/LP-M/2/2025.

Pelapor menilai, pengadaan website desa yang dilaksanakan PT WSMB sudah di luar batas kewajaran harga, jika dibandingkan dengan perusahaan pengembang teknologi lainnya di seluruh Indonesia.

“Ini tak boleh dibiarkan karena sudah menguras dana desa, yang kurang bermanfaat bagi masyarakat karena (website) ini sulit diakses dalam pelayanan berbasis online,” ujar pelapor yang enggan disebutkan namanya.

Pelapor mengaku mendatangi sendiri Polda Banten dan menyerahkan berkas laporan serta sejumlah bukti-bukti pada Jum’at pekan lalu, 21 Februari 2025.

Diketahui, proyek pembuatan dan pengembangan website desa yang digarap PT WSMB ini dilakukan dalam dua tahap, ditambah maintenance dan sewa hosting.

Yaitu tahap pertama menelan biaya Rp 37.055.000, sedangkan tahap dua senilai Rp 55.000.000. Sedangkan Pemerintah Desa dikenakan lagi biaya maintenance dan hosting Rp 5 Juta per tahun.

Tak main-main harga yang dibandrol PT WSMB pada proyek website desa yang hampir mencapai Rp 100 juta, diketahui ratusan desa di Kabupaten Serang sudah melakukan pembayaran langsung kepada Direktur PT WSMB, Mashudi.

Selain praktek monopoli, bau indikasi korupsi juga sangat menyengat dalam proyek pembuatan website Desa se-Kabupaten Serang tersebut.

Pelapor juga mengaku menyerahkan hasil survei harga pembanding terkait pekerjaan jasa pembuatan website dan aplikasi tersebut.

“Hasil survey pembanding dan fakta-fakta pendukung hasil analisa pelapor, sudah diserahkan dalam laporan. Kami berharap Bapak Kapolda Banten Irjen. Pol. Suyudi Ario Seto, mudah-mudah tidak ada kompromi dalam penegakan hukum bagi para penggasak uang negara ini,” tegasnya.

Dari informasi yang sudah beredar, wartawan juga mendapatkan berkas kwitansi bukti pembayaran kas Desa Cilayang. Bukti transfer dari Kas Desa Cilayang tertanggal 08 November 2023, ditujukkan kepada penerima Wahana PT Semesta Multimedia Banten Banten sebesar Rp 37.055.000, dengan keterangan pemasangan Webdesa.

Ada juga bukti transfer kedua kepada PT Wahana Semesta Multimedia Banten sebesar Rp 55.000.000 dengan keterangan pembayaran tahap 2 web Desa Cilayang tertanggal 26 September 2024.

Sebelumnya diberitakan juga, dugaan pengkondisian proyek website desa di Kabupaten Serang tersebut semakin mencuat setelah Direktur PT Wahana Semesta Multimedia Banten (WSMB), Mashudi, mengklaim sebagai inisiator program tersebut.

Pernyataan Mashudi itu seperti diberitakan salah satu media online TirtaNews.co.id pada Selasa (18/2/2025).

“Kita yang menginisiasi program ini, dan kita juga yang meminta DPMD untuk membuat penawaran ke desa. Sebab, kalau harus mendatangi setiap desa satu per satu, tentu tidak efektif. Maka dari itu, kami bersurat ke DPMD agar mengumpulkan kepala desa untuk sosialisasi program,” ujar Mashudi sebagaimana diberitakan.

Menurut Saipul Arifin, Ketua Forum Mahasiswa Anti Tertindas (FORMAT) Banten, ada sejumlah kejanggalan dalam proyek website desa tersebut.

Alih-alih menjadi langkah transparan dalam digitalisasi desa, program ini justru sarat dengan indikasi gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.

Pernyataan Mashudi memberi kesan jelas bahwa sebagai pihak swasta PT WSMB begitu memiliki kuasa mengarahkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) untuk mempromosikan “jualan website desanya”.

“Mashudi secara terang-terangan mengakui bahwa PT WSMB meminta DPMD Kabupaten Serang untuk membuat penawaran kepada desa-desa. Langkah ini memperlihatkan adanya intervensi langsung dari pihak swasta dalam kebijakan pemerintahan desa, yang seharusnya melalui proses lelang terbuka dan kompetitif,” ujar Saipul.

“Fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa inisiasi proyek ini sejak awal telah dikondisikan untuk menguntungkan pihak tertentu,” imbuhnya.

Selain itu, Mashudi juga menyebutkan bahwa website desa mencakup layanan administrasi surat-menyurat dan database kependudukan. Namun, ia sendiri mengakui bahwa sistem pengelolaan data kependudukan tidak mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri.

“Lalu, mengapa proyek ini tetap dipaksakan tanpa kepastian hukum? Apakah ini hanya akal-akalan untuk mengalihkan perhatian dari dugaan praktik korupsi yang terjadi?” tuturnya.

Terkait biaya pembuatan website yang mencapai Rp 97 juta per desa, Mashudi berusaha membantah adanya markup.

Namun, menurut Saipul, harga tersebut dinilai jauh di atas standar biaya pembuatan website yang wajar. Bahkan, ada indikasi bahwa desa-desa “dipaksa” untuk mengikuti program ini melalui surat edaran dari DPMD.

“(Ini) yang sejatinya bertentangan dengan prinsip otonomi desa dalam mengelola anggarannya sendiri,” tegasnya.

“Dugaan gratifikasi juga semakin kuat dengan adanya skema pembayaran yang terbagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, desa harus membayar Rp 37 juta, namun website yang dijanjikan belum bisa diakses sepenuhnya sebelum pelunasan tahap kedua sebesar Rp 55 juta,” jelas Saipul lagi.

Ini semakin membuktikan bahwa proyek ini bukan hanya sarat kejanggalan, tetapi juga menjadi jerat yang cenderung memanfaatkan anggaran desa dengan cara yang tidak transparan.

Dalam pembelaannya, Mashudi dan rekannya, Delfion, menyatakan bahwa tidak ada cashback atau aliran dana ke pihak DPMD.

Namun, pernyataan mereka, kata Saipul, bertentangan dengan kenyataan di lapangan, di mana desa-desa diarahkan hanya untuk menggunakan jasa PT WSMB tanpa pilihan (vendor) lain.

“Jika tidak ada gratifikasi atau kepentingan tertentu, mengapa DPMD begitu aktif dalam mengarahkan desa-desa untuk menggunakan jasa PT WSMB?” cetusnya.

Fakta lain yang terungkap adalah bahwa tidak semua desa mendapatkan manfaat dari program ini.

Sejumlah kepala desa melaporkan bahwa mereka kesulitan mengakses layanan yang dijanjikan, dan bahkan ada yang memilih untuk membuat website sendiri dengan biaya yang jauh lebih rendah.

Hal ini membuktikan bahwa program yang diklaim “untuk kemajuan desa” ini justru tidak efektif dan lebih menguntungkan pihak tertentu.

“Dengan semakin banyaknya indikasi pelanggaran dalam proyek ini, sudah sepatutnya KPK dan aparat penegak hukum turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini. Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri, juga harus segera mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi yang merugikan desa-desa di Kabupaten Serang,” harap Saipul.

Jika benar proyek ini murni untuk kemajuan desa, mengapa harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak transparan dan penuh tekanan?

Ataukah ini hanya proyek “bancakan” yang dikemas dengan embel-embel digitalisasi? Masyarakat berhak tahu kebenarannya.           *(H.Dede/Red)

banner 
728x90

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *