Oleh: Anang Ma’ruf Faisal
Gemasiber80news.com, LEBAK – Setiap tahun, ketika Ramadhan berakhir dan gema takbir berkumandang, ada satu tradisi yang selalu kita jalani, yaitu “saling bermaafan”. Lebaran menjadi momen di mana orang-orang bersilaturahmi, saling berjabat tangan, dan mengucapkan “Mohon maaf lahir dan bathin.” Suasana haru dan kebersamaan terasa begitu kental, seolah-olah semua kesalahan di masa lalu bisa dihapus dalam satu hari.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, apakah proses memaafkan ini benar-benar datang dari kesadaran? Ataukah hanya sebatas formalitas agar tidak dianggap berbeda dari kebiasaan yang sudah turun-temurun?
Dalam Islam, memaafkan adalah bagian dari akhlak yang luhur. Allah bahkan berjanji akan meninggikan derajat orang-orang yang mampu memberi maaf dengan ikhlas. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan bagaimana beliau selalu memaafkan orang-orang yang pernah menyakitinya, bahkan ketika beliau memiliki kesempatan untuk membalas.
Namun, memaafkan dalam konteks Idulfitri sering kali lebih bersifat simbolik dibandingkan substansial. Banyak orang yang meminta maaf tanpa benar-benar memahami apa yang mereka lakukan salah. Sebaliknya, ada juga yang memberikan maaf tanpa benar-benar merelakan. Ini bukan berarti kita harus mengabaikan budaya maaf-maafan, tetapi kita perlu bertanya, apakah kita benar-benar memahami makna di baliknya?
Fenomena maaf-maafan saat Lebaran sering kali terasa seperti ritual tahunan yang berjalan otomatis. Orang-orang yang jarang berinteraksi tiba-tiba saling mengirim pesan, yang isinya pun hampir selalu sama, “Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan bathin”.
Sebagian besar pesan itu dikirim dalam bentuk broadcast atau salinan dari template yang sudah ada, tanpa personalisasi atau refleksi yang mendalam.
Pertanyaannya, apakah memaafkan hanya sebatas mengirim pesan singkat tanpa benar-benar memperbaiki hubungan? Ataukah itu hanya sebatas formalitas agar tidak dianggap sombong?
Di lingkungan sosial, sering kali ada tekanan untuk mengikuti budaya maaf-maafan ini. Tidak sedikit orang yang merasa terpaksa meminta atau memberi maaf karena takut dianggap tidak menghormati tradisi. Tapi, jika permintaan maaf hanya dilakukan karena tuntutan sosial, tanpa ada niat untuk benar-benar memperbaiki diri, maka makna Idul Fitri sebagai hari kemenangan justru menjadi kabur.
Hal lain yang sering luput dari perhatian adalah bahwa memaafkan adalah sebuah proses. Tidak semua orang bisa langsung memaafkan begitu saja, terutama jika luka yang ditinggalkan cukup dalam. Dalam kehidupan nyata, ada kalanya kita butuh waktu untuk benar-benar menerima, memahami, dan akhirnya memaafkan dengan tulus.
Memaksa seseorang untuk memberi maaf hanya karena “sudah Lebaran” sebenarnya justru bisa membuat proses ini kehilangan maknanya. Sebaliknya, memberi ruang bagi diri sendiri untuk benar-benar memahami dan meresapi proses memaafkan justru akan membuatnya lebih bermakna.
Memaafkan bukan hanya tentang menghapus kesalahan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita membebaskan diri dari beban emosi yang bisa menghambat pertumbuhan pribadi. Dengan memaafkan secara sadar, kita tidak hanya memperbaiki hubungan dengan sesama, tetapi juga menciptakan kedamaian dalam diri sendiri.
Selain budaya maaf-maafan yang sering kali kehilangan esensi, Idulfitri juga membawa tekanan sosial lainnya. Ada anggapan bahwa Lebaran harus dirayakan dengan pakaian baru, makanan melimpah, dan pemberian THR kepada keluarga dan kerabat atau sanak saudara.
Bagi sebagian orang, ini adalah bagian dari kebahagiaan Lebaran. Namun, bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sulit, tradisi ini bisa menjadi beban yang berat. Tidak sedikit orang yang merasa “tidak cukup baik” hanya karena tidak mampu mengikuti standar sosial yang sudah terbentuk ini.
Padahal, esensi Idul Fitri bukanlah tentang seberapa banyak uang yang kita keluarkan, melainkan tentang bagaimana kita membersihkan hati dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Tetapi dalam praktiknya, terkadang justru aspek material yang lebih mendapatkan perhatian.
Selain itu, ada budaya mudik yang bagi sebagian besar masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari Lebaran. Namun, dalam beberapa kasus, mudik justru menjadi ajang pembuktian sosial. Mereka yang pulang kampung dengan kendaraan mewah atau membawa banyak oleh-oleh dianggap lebih “sukses,” sementara yang datang dengan sederhana bisa jadi dipandang sebelah mata. Padahal, sejatinya, mudik bukan soal pamer keberhasilan, tetapi tentang kembali ke akar, bertemu keluarga, dan mempererat hubungan yang mungkin renggang karena kesibukan sehari-hari.
Di tengah berbagai tradisi yang sudah melekat dalam perayaan Idulfitri, kita perlu kembali bertanya: apa sebenarnya makna dari hari raya ini? Apakah sekadar berkumpul, berbagi makanan, dan saling bermaafan dalam formalitas? Ataukah ini momen untuk benar-benar melakukan refleksi diri dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik?
Memaafkan memang penting, tetapi tidak boleh hanya menjadi seremonial tahunan. Jika kita meminta maaf, pastikan itu bukan hanya sebatas kata-kata, tetapi juga disertai dengan perubahan sikap. Jika kita memaafkan, pastikan itu benar-benar lahir dari hati, bukan karena tekanan budaya.
Lebaran seharusnya bukan hanya soal tradisi yang terus berulang, tetapi tentang bagaimana kita bisa menjadikannya sebagai momentum transformatif untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ini adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan diri, memperbaiki hubungan yang retak, dan membangun kesadaran baru tentang makna kehidupan sosial yang lebih dalam.
Pada akhirnya, kemenangan sejati di hari yang fitri bukanlah tentang berapa banyak tangan yang kita jabat, seberapa banyak pesan maaf yang kita terima, atau seberapa meriahnya perayaan kita. Lebih dari itu, kemenangan sejati adalah ketika kita benar-benar mampu berdamai dengan diri sendiri, memperbaiki hubungan dengan orang lain, dan membawa perubahan nyata dalam kehidupan setelahnya. *(Uzex)
Penulis Anang Ma’ruf Faisala adalah Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang, Banten.