Oleh: Anang Ma’ruf Faisal
Gemasiber80news.com, LEBAK – Lebaran, selain menjadi momen spiritual dan kebudayaan terbesar di Indonesia, juga identik dengan satu hal yang dinanti-nanti banyak orang, yaitu libur panjang. Setelah sebulan penuh menjalani puasa dan aktivitas keagamaan, Hari Raya Idul Fitri menjadi alasan sah untuk rehat, pulang kampung, dan melepas rindu bersama keluarga.
Tapi dibalik kehangatan suasana itu, ada pertanyaan yang kerap muncul dan perlu kita renungkan bersama, apakah libur panjang setelah lebaran benar-benar memberi manfaat besar bagi masyarakat? Ataukah justru lebih banyak mudaratnya, terutama dari sisi produktivitas dan pelayanan publik?
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama para perantau, libur lebaran adalah satu-satunya kesempatan dalam setahun untuk pulang kampung. Tak semua orang bisa seenaknya mengambil cuti pada waktu lain. Maka, momen Idul Fitri ini dianggap sangat krusial. menyambung silaturahmi, mempererat kembali hubungan keluarga, dan mengobati kerinduan akan tanah kelahiran.
Dari sisi psikologis, liburan juga membantu mengendurkan tekanan kerja. Apalagi setelah menjalani Bulan Ramadhan yang secara fisik dan mental cukup menguras energi. Waktu istirahat yang panjang dianggap bisa meningkatkan semangat dan produktivitas di masa kerja berikutnya.
Tak sedikit pula yang berargumen bahwa dalam konteks Indonesia, libur lebaran adalah bagian dari budaya nasional yang mengakar kuat. Maka, menghentikan atau mengurangi jatah libur ini dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak sosial, bahkan bisa dianggap “tidak manusiawi.”
Namun, disisi lain, ada kelompok yang mulai resah dengan panjangnya masa libur setelah Idul Fitri. Beberapa sektor penting, seperti pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, bahkan ekonomi lokal, nyaris lumpuh karena “semuanya libur.”
Bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pemerintahan, urusan administrasi menjadi tertunda. Bagi pelaku usaha, terutama UMKM dan pedagang kecil, libur panjang justru berarti tidak adanya pemasukan. Belum lagi sektor industri yang harus mengatur ulang ritme produksi hanya untuk menyesuaikan libur besar-besaran ini.
Lalu, bagaimana nasib pasien yang butuh layanan cepat? Bagaimana dengan pelajar yang kehilangan waktu belajar cukup banyak hanya karena sistem ikut “cuti nasional”?
Ironi dari panjangnya cuti bersama ini kembali mencuat dalam kasus tragis yang terjadi di pedalaman Baduy Dalam, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Seorang ibu yang tengah melahirkan harus kehilangan nyawanya bersama sang bayi karena keterlambatan penanganan medis. Layanan kesehatan tak merespons cepat, sebagian karena dampak dari ritme pelayanan yang melambat selama libur panjang. Ini bukan hanya soal fasilitas yang minim, tapi juga soal bagaimana sistem negara yang seharusnya siaga kapan pun justru ikut “beristirahat” di saat nyawa dipertaruhkan.
Di sini, kritiknya bukan pada liburnya, tapi pada ketidakmampuan kita dalam mengelola libur itu secara cerdas. Kita terbiasa dengan pola hitam putih. semua libur atau semua kerja. Padahal dunia terus bergerak dan pelayanan dasar seharusnya tak boleh berhenti.
Apakah mungkin menjaga budaya libur lebaran sekaligus menjamin efisiensi dan layanan publik? Tentu saja. Yang dibutuhkan adalah inovasi dan kemauan untuk merancang sistem kerja yang lebih adaptif.
Beberapa negara sudah menerapkan sistem rotasi kerja saat hari raya. Ada yang cuti lebih dulu, ada yang menyusul. Pelayanan tetap berjalan, masyarakat tetap dilayani, dan liburan tetap dinikmati. Sayangnya, di Indonesia, model semacam ini masih sulit diterapkan karena belum ada kesadaran kolektif baik dari birokrasi maupun masyarakat.
Pemerintah juga perlu lebih transparan dalam mengevaluasi dampak ekonomi dari libur panjang. Jangan sampai alasan “kebahagiaan masyarakat” justru menutupi fakta bahwa kerugian ekonomi dan penurunan produktivitas pasca lebaran sangat besar dan berulang setiap tahun.
Libur panjang setelah Idul Fitri memang bukan semata soal hari libur. Ia berkaitan dengan identitas budaya, kebutuhan emosional, dan sistem kerja nasional. Karena itu, pembahasannya pun harus seimbang, tidak semata menyudutkan, tapi juga tidak membiarkan.
Kita perlu mulai bertanya secara jujur, apakah libur panjang ini benar-benar memberi manfaat yang adil bagi semua kalangan? Ataukah hanya menguntungkan sebagian, dan menyusahkan yang lain?
Idul Fitri mestinya tidak hanya menjadi perayaan, tapi juga refleksi. Jika kita mengaku kembali pada fitrah, maka ke depan kita harus lebih bijak dalam mengelola waktu, pekerjaan, dan tanggung jawab sosial. Liburan bukan untuk melupakan kewajiban, tetapi untuk kembali dengan energi baru, dan kesadaran yang lebih matang terhadap keseimbangan antara hak dan kewajiban. *(Uzex)
Penulis: Anang Ma’ruf Faisal adalah Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang, Provinsi Banten.